LEGENDA BABAD AJIBARANG
(Seri Kidang Atrincing Seta)
Negeri Galuh Pakuan
sedang dilanda cobaan berat. Musim kemarau yang berkepanjangan menimbulkan
kesengsaraan rakyat. Wabah penyakit dan tindak kriminal meningkat. Sementara
para punggawa dan hulubalang belum mampu menghadapinya. Arya Munding Wilis yang
menjadi Adipati kala itu memang sedang diuji.
Belum selesai
mengatasi kesulitan yang satu timbul masalah yang lain. dalam kesedihan
menghadapi negeri yang sedang terancam itu, isterinya yang sedang hamil
menginginkan daging kijang berkaki putih. Demi cintanya kepada Sang isteri,
berangkatlah Sang Adipati Munding Wilis dengan Kuda Dawuk Ruyung kesayangannya.
Hanya ditemani dua pengawalnya, berhari-hari Sang Adipati tak mengenal lelah
dalam mencari buruannya itu. Namun sudah sampai sebulan belum juga nampak
hasilnya.
Ketika mereka berburu
kearah timur menyusuri Sungai Citandui sampailah Sang Adipati beserta dua
pengawalnya di suatu grumbul. Ternyata Adipati beserta dua pengawalnya itu
sampai di sebuah perkampungan para brandal yang sering mengacau di seluruh
kadipatennya. Di Grumbul Gunung Mruyung tersebut sang adipati terpojok dan
dirampok oleh dedengkot grumbul itu yaitu Abulawang. Seluruh bawaan bahkan kuda
Sang Adipati dirampas dan sang dedengkot mengancam akan merampok dan
menghancurkan kadipatennya. Adipati yang sedang kecewa karena tidak mendapat
buruannya pulang dengan kesedihan yang lebi mendalam ke kadipatennya.
Sampainya di
kadipaten, kesedihan sang Adipati terobati karena putera yang ditungu tungu
sudah lahir kedunia. Semakin gembiralah ia setelah ditunjukkan adanya tanda
hitam di lengan kiri bayi itu, yang konon merupakan “toh wisnu”. Artinya bayi
ini kelak akan menjadi seorang yang besar yang berbudi luhur dan bijaksana.
Ternyata kegembiraan
di Kadipaten itu tak berlangsung lama. Pada malam keempat kelahiran sang jabang
bayi, perampok gerombolan dari Gunung Mruyung dedengkot Abulawang benar-benar
datang dan menghancurkan Kadipaten. Prajurit dan pengawal tidak bisa melawan
gerombolan tersebut, semua barang dirampok dan Kadipaten dibakar.
Untunglah sang Adipati
dan Gusti putri selamat. Namun nasib bayi yang ditunggui oleh dua orang emban
tidak demikian. Bayi itu dibawa oleh salah seorang perampok ke Gunung Mruyung
tempat markas mereka. Adipati dan gusti putri lemas, bahkan gusti putri
pingsan.
Suatu Ketika, Adipati
Munding Wilis dan istrinya menyamar sebagai petani, pergi meninggalkan
Kadipaten. Semula mereka bertekad ke Gunung Mruyung, tempat perkampungan para
perampok untuk mencari bayinya. Namun niatnya diurungkan karena terlalu
bahaya, merekapun berjalan ke arah lain.
Bayi yang masih merah
itu, sudah sampai di Gunung Mruyung. Bertahun-tahun bayi tersebut tumbuh
menjadi pemuda gagah dan tampan, sifatnya baik berbeda dengan orang tua
angkatnya yang perampok. Pemuda itu dinamai Jaka Mruyung. Karena tidak senang
dengan sikap dan tingkah laku orang tuanya maka dia pergi meninggalkan Gunung
Mruyung.
Jaka Mruyung pergi
dengan Kuda Dawuk Ruyung, yang dimiliki orang tua angkatnya, kuda tersebut
sebenarnya adalah kuda milik ayah kandungya Adipati Munding Wilis. Jaka Mruyung
tiba disuatu kampung di kawasan “Dayeuhluhur” dan bertemu seorang kakek.
Ternyata kakek tersebut bukan kakek sembarangan. Dia adalah Ki Meranggi,
seorang mantan prajurit sakti Kerajaan Majapahit dan kini menjadi seorang
Mranggi (pembuat rangka keris). Jaka mruyung mengabdi di rumah Ki Mranggi, dan
selama pengabdiannya dia banyak mendapat pengalaman yaitu baca, tulis, membuat
keris dan ilmu keprajuritan serta kedigdayaan. Semua ilmu tersebut dikuasainya dalam
waktu empat tahun. Pada tahun ke enam, Jaka Mruyung seolah mendapat ilham agar
meneruskan perjalan ke timur dan disana dia menemukan hutan yang ditumbuhi
pohon Pakis Aji dan kelak hutan tersebut dibabat dan dijadikan perkampungan.
Jaka Mruyung pun pamit dan berpesan pada Ki Mranggi agar pedukuhan ini
sepeninggalnya kelak diberi nama Dukuh Penulisan karena ditempat inilah dia
belajar menulis.
Setelah menempuh
perjalanan jauh, sampailah dia di perbatasan Kadipaten Kutanegara. Ditempat itu
iapun melepas lelahnya sambil memuji keagungan Tuhan ia menyaksikan keindahan
alam di sekitarnya. Si Dawuk Ruyung, kudanya yang sudah tua itu makan rumput
sekenyang-kenyangnya. Jaka Mruyung memandang rumput hijau itu bagaikan
permadani yang Gumelar (digelar dalam bahasa Jawa). Tempat itu kemudian
nantinya disebut Desa Gumelar. Di tempat ini dia bertemu dengan pemuda dari
Dukuh Cilangkap. Dari pemuda ini dia akhirnya tahu letak Hutan Pakis Aji yang
ada dalam ilhamnya. Setelah dia melakukan perjalanan dan singgah sejenak di Dukuh
Cilangkap, dia terus melanjutkan perjalanan menuju Hutan Pakis Aji. Hutan
tersebut ternyata berada di Selatan Kutanegara dan sebelah timur Dukuh
Cilangkap.
Sementara itu,
perjalanan Adipati Munding Wilis dan istrinya yang menyamar menjadi Ki Sandi dan
Ni Sandi tiba di Dukuh Penulisan, Daerah Daeyuhluhur . Kebetulan keduanya
singgah pula di rumah Ki Mranggi. Mereka bertukar pengalaman. Alangkah
gembiranya kedua tamu tersebut demi mendengar cerita Ki Mranggi, mereka yakin
apa yang diceritakan Ki Mranggi itu ciri-ciri anaknya( dengan Toh Wisnu di
Tanggannya). Mereka semakin gembira karena Ki Mranggi juga mengatakan kemana
arah peginya anak mereka Jaka Mruyung. Semenjak Pergi dari Negerinya Galuh
Pakuan, Adipati Mundig Wilis dan istrinya memang selalu bedoa agar bisa
dipertemukan dengan anaknya. Dan memang sudah digariskan bahwa mereka berdua
pun sampai di Dukuh Cilangkap dan bertemu dengan orang tua Tlangkas, pemuda
yang pernah memberikan petunjuk kepada Jaka Mruyung.
Ki Sandi alias Adipati
Wilis pun tambah gembira karena harapanya semakin dekat terkabul. Sedang Jaka
Mruyung kini sudah sampai di kaki bukit sebelah barat Hutan Pakis Aji. Di situ
ia terus ke selatan dan menyebarangi sungai yang airnya Racak-racak, sungai itu
kemudian dinamai Kali Racak. Di pinggir bukit itu ia melihat pohon yang berbuah
sangat banyak, lalu ia bertanya pada orang yang lewat, Apa nama buah itu, orang
itu malah menjawab dengn basa sunda, “Ie mah Gondangamis” artinya ini buah
gondang yang manis. Kelak tempat itu menjadi Grumbul Gondangamis.
Dari situ dia terus
menyusuri pinggiran hutan ke timur, ternyata tempat yang disinggahinya banyak
dihuni burung Jalak. Tempat itu nantinya diberi nama Pejalakan. Lalu dia sampai
dibelokan kali datar, dia menemukan sebuah kedung, diatasnya banyak burung
serwiti, Kedung itu kemudian di beri nama Kedung Serwiti. Setelah mengelilingi
Hutan Pakis aji, sampailah dia dipinggiran utara, ia melihat orang-orang sedang
membuat tambak ikan. Jaka Mruyung segera meminta bantuan orang-orang untuk
bersama-sama membabat hutan Pakis Aji. Kelak Dusun itu menjadi Dusun Tambakan.
Di tengah hutan muncul
ular raksasa, namun berhasil dibunuh oleh Jaka Mruyung dan orang-orangnya dan
dibakar. Namun akibatnya hutan Pakis aji menjadi terbakar, kebakaran begitu
hebatnya sehingga membuat resah kadipaten Kutanegara. Jaka Mruyung sang biang
keladi pun ditangkap dan dihukum. Pada masa hukumannya itu ternyata Jaka
Mruyung yang tampan, sopan dan baik hati di sukai oleh putri kedua sang Adipati
yaitu Putri Pandanayu. Setelah beberapa lama,Jaka Mruyung pun dibebaskan.
Kemudian dia mengikuti
sayembara di Kadipaten Kutanegara tersebut. Sayembara itu untuk mencari
Senopati Utama yang baru. Jaka mruyung ikut sayembara, dengan kesaktiannya dia
memenangkan banyak pertarungan dan pada akhirnya dia harus melawan musuh
terkuat yaitu duta dari Kadipaten Kutaliman, bernaman Ki Kentol. Perseteruan
antara Jaka Mruyung dan Ki Kentol yang berlarut-larut, nantinya menjadi momok
yaitu siapa saja Pejabat yang datang ke Kutaliman pasti akan lengser. Jaka Mruyung
yang memenangkan sayembara dijadikan Senopati Utama dan dinikahkan dengan putri
kedua Adipati yaitu Pandanayu.
Berita tersebut
ahirnya sampai ke Tlangkas dan orang tuanya dan kemudian sampai ke telinga tamu
mereka Ki Sandi yang tak lain adalah Adipati Munding Wilis ayah Jaka MRuyung,
Raja atau Adipati Besar dari Galuh Pakuan. Adipati lalu membuka jati dirinya
dan menemui Adipati Kutanegara. Betapa senangnya Adipati Kutanegara, ternyata
calon mantunya adalah anak Adipati Besar dari Galuh Pakuan.
Haru dan Bahagia pun
berkecamuk diantara mereka. Acara Pernikahan segera dilakukan, namun di saat
berlangsungnya pernikahan terjadi kehebohan. Hal ini kaerna putri pertama
Adipati Kutanegara yaitu Dewi Pandansari minggat, karena malu telah dilangkahi.
Dia bertapa disebuah kali, dia bertapa merendam, yang tentu saja tubuhnya yang
indah itu tidak ditutupi oleh apapun. Tidak heran banyak lelaki berdatangan
ingin melihat. Putri lalu berkata pada biyung embannya agar disampaikan ke
ayahnya, supaya Kali tersebut dinamai Kali Luwih Laki, yang kemudian berubah
menjadi Kali Wilaki. Dewi Pandansari itupun meninggal dikali dan dikuburkan
disawah pinggir sungai tersebut. Kuburan itu terkenal dengan sebutan Kuburan
Pandansari.
Bertahun-tahun dari
peristiwa itu, Adipati Kutanegara, Adipati Nglangak itupun semakin lanjut usia.
Jaka mruyung pun menggantikannya dan diangkat sebagai adipati Kutanegara. Namun
Jaka Mruyung yang tinggal di Kadipaten Kutanegara itu tidak betah di Kadipaten
Kutanegara. Dia Menginginkan pindah, lalu dia pun teringat ilham yang
diperolehnya saat dia muda. Dia kemudian pindah ke hutan yang telah ia babat
yaitu Hutan Pakis Aji. Maka ibukota Kadipaten Kutanegara dipindah ke Hutan
Pakis Aji dan disebut AJIBARANG sehingga kadipaten berubah menjadi Kadipaten AJIBARANG.
Sumber : BANYUMAS
WISATA DAN BUDAYA, karya: M. KODERI, cetakan 1991
JAVA COMPUTER
COURSES AND TRAINING INSTITUTIONS
SERVICE / REPAIR COMPUTER-LAPTOP/NOTEBOOK-PRINTER
Mobile: 085743622909
Phone: 0281 572 154 - 6570233
Jln. No Pandansari. 9 Kauman Ajibarang
Jln. No Pandansari. 9 Kauman Ajibarang
CERITA BABAD AJIBARANG
4/
5
Oleh
Unknown
6 komentar
matur nuwun infone gan.
Replyijinkan share di Facebook
ReplyOo ok
ReplyCeritanya sangat bagus.kalau anda tau asal usul bangsa drana apakah benar .. di ambil dari nama seseorang.yg dulunya sakti. Aku keluarga tirta besari dan mbah kiban ajibarang kulon.bisaminta tolong ceritanta
ReplyBelum punya datanya
Reply